Study Tour
Aku dan teman-temanku bersorak riang
ketika kak Feri—guru bimbel bahasa inggrisku memberitahukan bahwa kami akan
mengadakan study tour. Kami sudah mengira bahwa kami akan pergi mendaki gunung,
ke pantai atau wisata alam lainnya. Tetapi kelas mendadak senyap ketika tahu
tempat tujuan kami yaitu Museum.
Kami saling menatap heran, bahkan
Joseph—teman yang duduk disampingku
menatapku dengan mulutnya yang terbuka dan alisnya yang bertaut seakan mewakili
pertanyaannya. Aku mrngangkat alis, bahu, tangan secara bersamaan untuk
mengisyaratkan aku juga sama-sama bingung. Kak Feri tertawa—seakan tebakan yang sudah ia kira
atas nespon kami, tepat sasaran. Teman temanku semakin melongo,memperlihatkan
wajah konyol mereka saat menjelaskan tujuan kami yaitu Museum Geologi.
‘’Disana kalian akan
benar-benar belajar.’’ Ucap kak Feri
semakin memperburuk suasana hati kami.’’ Kalian akan bertemu dengan teman-teman
dari Australia ,’’ lanjut kak Feri yang
jujur—sedikit membuatku penasaran. “Kalian diharuskan untuk berkenalan,
mengobrol, menceritakan kota Bandung atau Indonesia seperti Tourguide dan tentu saja memakai Bahasa
Inggris.” Akhirnya. Kalimat terakhir itu mengungkapkan kekhawatiran
teman-temanku, termasuk aku. Bahasa Inggrisku payah sekali—mungkin ada di titik
5 dari skala 100.
Kami mulai giat belajar dan
berlatih. Aku sering belajar kelompok dengan teman-temanku. Kami menghapal
kata-kata yang mungkin akan kami butuhkan. Kak Feri juga sering membantu kami. Akhirnya,
hari minggu itu aku dan teman-teman sudah siap-siap di tempat bimbel menunggu
mobil jemputan untuk pergi ke museum Geologi. Setelah sampai disana, kami
mengikuti kak Feri dan kak Linna masuk ke dalam museum. Tak lama setelah
mengurus tiket, kami pun masuk lebih ke dalam lagi sampai aku melihat kira-kira
ada 20 lebih orang asing.
“Yaampun, banyak sekali..” ucap Rei,
salah satu temanku. Kami sama-sama terkejut. Aku kira mereka tidak akan lebih
dari kami, tapi kenyataannya jumlah mereka dua kali lipat dari kami. Tiga dari
mereka berumur lebig dari 20 tahun. Dua laki-laki dan satu perempuan yang
kemudian mengobrol dengn guruku. Sedang sisanya yaitu anak laki-laki dan
perempuan yang berumur sekitar 12-15 tahun, mayoritasnya perempuan.
Kami semua diam sambil memperhatikan
rombongan orang asing itu. Kak Linna menghampiri kami, “Jangan khawatir, semua
akan baik-baik saja.” Ucapnya sambil tersenyum. Aku bingung harus melakukan
apa. Keberanian yang kukumpulkan menguap bersama materi-materi hasil belajar.
Tidak ada yang bergerak diantara kami. “Oh ya, kalian sekarang boleh
berkeliling. Jangan lupa berkenalan dengan mereka oke? Good luck, guys!” tambahnya seakan menjawab pikiranku.
Akhirnya kami berpencar, ada
teman-temanku yang mulai memberanikan diri untuk berkenalan. Sedangkan aku
hanya mengikuti langkah kakiku. Aku ikut rombongan paling banyak. Aku
memperhatikan seorang anak laki-laki berambut cokelat yang sedang tertawa
dengan Joseph. Joseph melihat kearahku, aku memasang wajah memelas—lalu dia
tertawa. Aku ikut tertawa ketika seseorang menyapaku dari belakang.
“Hai” sapanya. Aku menoleh—dan
dengan gugup menjawab “Halo”. Seorang anak perempuan berambut hitam lurus,
berkulit pucat dengan mata sipit. Ia lalu tersenyum sambil menjajari langkahku.
Aku tak tahu harus bicara apa—lebih tepatnya aku tidak berani bicara. Jika aku
salah bicara pasti konyol. ‘Nanti dia tidak mengerti lagi,’ pikirku sambil
membayangkan jika itu terjadi. Memalukan.
“Aku Akira. Hashizume Akira, kau?”
pertanyaannya menghentikan pikiranku. Ia mengulurkan tangan. Dia berbicara
bahasa Indonesia? Seakan baru sadar, aku cepat-cepat menjabat tangannya. “Kau
berbicara.. Bahasa Indonesia?” Ia mengangguk sambil tersenyum tipis. Mulutku
membentuk huruf o. Dia menatap wajahku seperti meminta jawaban. “Ahiya, aku Kianti.” Dia mengangguk. “Halo Kianti.” Aku tersenyum untuk menjawabnya.
Akira sangat menyenangkan. Hari itu
yang seharusnya aku yang banyak bicara, jadi terbalik. Akira menceritakan
tentang keluarga, sekolah, dan lain-lain. Aku lebih sering menyimak dan
sekali-kali memberi tanggapan. Aku bercerita hanya ketika Akira bertanya. Aku
juga berkenalan dengan yang lainnya. Seperti Rene—anak perempuan yang sangat
ceriwis, bicaranya cepat sekali sehingga aku hanya dapat menyimak beberapa
kata. Ada juga Greg—yang pintar sekali, berwawasan luas dan tampan. Dan banyak
lagi, aku lupa.
Akira membantuku berkomunikasi
dengan mereka, dia sangat fasih berbahasa Indonesia karena nenek dari ibunya
adalah orang Indonesia. Mereka semua ramah dan menyenangkan. Kami bertukar
cerita, bernyanyi dan berfoto. Hari itu adalah hari yang menyenangkan. Aku
takkan melupakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar