Kamis, 30 Januari 2014

CERPEN




Study Tour

            Aku dan teman-temanku bersorak riang ketika kak Feri—guru bimbel bahasa inggrisku memberitahukan bahwa kami akan mengadakan study tour. Kami sudah mengira bahwa kami akan pergi mendaki gunung, ke pantai atau wisata alam lainnya. Tetapi kelas mendadak senyap ketika tahu tempat tujuan kami yaitu Museum.
            Kami saling menatap heran, bahkan Joseph—teman yang  duduk disampingku menatapku dengan mulutnya yang terbuka dan alisnya yang bertaut seakan mewakili pertanyaannya. Aku mrngangkat alis, bahu, tangan secara bersamaan untuk mengisyaratkan aku juga sama-sama bingung. Kak Feri  tertawa—seakan tebakan yang sudah ia kira atas nespon kami, tepat sasaran. Teman temanku semakin melongo,memperlihatkan wajah konyol mereka saat menjelaskan tujuan kami yaitu Museum Geologi.
            ‘’Disana kalian akan benar-benar  belajar.’’ Ucap kak Feri semakin memperburuk suasana hati kami.’’ Kalian akan bertemu dengan teman-teman dari Australia ,’’ lanjut  kak Feri yang jujur—sedikit membuatku penasaran. “Kalian diharuskan untuk berkenalan, mengobrol, menceritakan kota Bandung atau Indonesia seperti Tourguide dan tentu saja memakai Bahasa Inggris.” Akhirnya. Kalimat terakhir itu mengungkapkan kekhawatiran teman-temanku, termasuk aku. Bahasa Inggrisku payah sekali—mungkin ada di titik 5 dari skala 100.
            Kami mulai giat belajar dan berlatih. Aku sering belajar kelompok dengan teman-temanku. Kami menghapal kata-kata yang mungkin akan kami butuhkan. Kak Feri juga sering membantu kami. Akhirnya, hari minggu itu aku dan teman-teman sudah siap-siap di tempat bimbel menunggu mobil jemputan untuk pergi ke museum Geologi. Setelah sampai disana, kami mengikuti kak Feri dan kak Linna masuk ke dalam museum. Tak lama setelah mengurus tiket, kami pun masuk lebih ke dalam lagi sampai aku melihat kira-kira ada 20 lebih orang asing.
            “Yaampun, banyak sekali..” ucap Rei, salah satu temanku. Kami sama-sama terkejut. Aku kira mereka tidak akan lebih dari kami, tapi kenyataannya jumlah mereka dua kali lipat dari kami. Tiga dari mereka berumur lebig dari 20 tahun. Dua laki-laki dan satu perempuan yang kemudian mengobrol dengn guruku. Sedang sisanya yaitu anak laki-laki dan perempuan yang berumur sekitar 12-15 tahun, mayoritasnya perempuan.
            Kami semua diam sambil memperhatikan rombongan orang asing itu. Kak Linna menghampiri kami, “Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja.” Ucapnya sambil tersenyum. Aku bingung harus melakukan apa. Keberanian yang kukumpulkan menguap bersama materi-materi hasil belajar. Tidak ada yang bergerak diantara kami. “Oh ya, kalian sekarang boleh berkeliling. Jangan lupa berkenalan dengan mereka oke? Good luck, guys!” tambahnya seakan menjawab pikiranku.
            Akhirnya kami berpencar, ada teman-temanku yang mulai memberanikan diri untuk berkenalan. Sedangkan aku hanya mengikuti langkah kakiku. Aku ikut rombongan paling banyak. Aku memperhatikan seorang anak laki-laki berambut cokelat yang sedang tertawa dengan Joseph. Joseph melihat kearahku, aku memasang wajah memelas—lalu dia tertawa. Aku ikut tertawa ketika seseorang menyapaku dari belakang.
            “Hai” sapanya. Aku menoleh—dan dengan gugup menjawab “Halo”. Seorang anak perempuan berambut hitam lurus, berkulit pucat dengan mata sipit. Ia lalu tersenyum sambil menjajari langkahku. Aku tak tahu harus bicara apa—lebih tepatnya aku tidak berani bicara. Jika aku salah bicara pasti konyol. ‘Nanti dia tidak mengerti lagi,’ pikirku sambil membayangkan jika itu terjadi. Memalukan.
            “Aku Akira. Hashizume Akira, kau?” pertanyaannya menghentikan pikiranku. Ia mengulurkan tangan. Dia berbicara bahasa Indonesia? Seakan baru sadar, aku cepat-cepat menjabat tangannya. “Kau berbicara.. Bahasa Indonesia?” Ia mengangguk sambil tersenyum tipis. Mulutku membentuk huruf o. Dia menatap wajahku seperti meminta jawaban. “Ahiya, aku Kianti.” Dia mengangguk. “Halo Kianti.” Aku tersenyum untuk menjawabnya.
            Akira sangat menyenangkan. Hari itu yang seharusnya aku yang banyak bicara, jadi terbalik. Akira menceritakan tentang keluarga, sekolah, dan lain-lain. Aku lebih sering menyimak dan sekali-kali memberi tanggapan. Aku bercerita hanya ketika Akira bertanya. Aku juga berkenalan dengan yang lainnya. Seperti Rene—anak perempuan yang sangat ceriwis, bicaranya cepat sekali sehingga aku hanya dapat menyimak beberapa kata. Ada juga Greg—yang pintar sekali, berwawasan luas dan tampan. Dan banyak lagi, aku lupa.
            Akira membantuku berkomunikasi dengan mereka, dia sangat fasih berbahasa Indonesia karena nenek dari ibunya adalah orang Indonesia. Mereka semua ramah dan menyenangkan. Kami bertukar cerita, bernyanyi dan berfoto. Hari itu adalah hari yang menyenangkan. Aku takkan melupakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar